TEMPO.CO, Jakarta – Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 mengalami penurunan empat angka menjadi 34 poin. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM Totok Dwi Diantoro mengatakan hal tersebut menunjukkan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintah.
“Patut diragukan komitmennya,” kata Totok pada Rabu 1 Februari 2023 saat dihubungi Pace melalui pesan tertulis.
Totok menilai lemahnya komitmen tersebut dapat terlihat dari sejumlah kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Salah satunya, kata dia, adalah revisi Undang-Undang KPK yang disahkan pada 2019 lalu.
“Saya melihatnya substansi revisi UU tersebut mendegradasi KPK yang jelas menjadi berpengaruh terhadap komponen penilaian yang menurunkan IPK,” ujar dia.
Padahal, Totok mengatakan KPK memiliki peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menilai KPK lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot, TII Singgung Lemahnya Penegakan Hukum
“Dan situasi sekarang semakin menggelisahkan. KPK terasa menjadi tidak berbeda kualitasnya dengan kepolisian dan kejaksaan,” kata Totok.
Selain itu, Totok menyoroti fenomena konflik kepentingan di Indonesia sebagai salah satu penyebab merosotnya skor IPK tahun 2022. Ia menilai perlu adanya langkah berani untuk membuat peraturan khusus mengatur fenomena konflik kepentingan.
“Memang regulasi tersebut sudah ada beberapa seperti UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan Permenpan-RB No. 37/2012. Namun semuanya belum secara tegas mengatur soal konflik kepentingan,” ujarnya.
Suara senada diungkapkan Koordinator Indonesia Memanggil 57+ Mochammad Praswad Nugraha. Ia mengatakan, rendahnya skor tersebut mencerminkan keterpurukan performa pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, ia menilai pemerintah secara vulgar memukul mundur kerja pemberantasan korupsi.
“Misalnya saja pemberlakuan revisi UU KPK, tidak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, dan lain sebagainya,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Selain itu, Praswad menyebut bahaya bila kondisi keterpurukan pemberantasan korupsi terus dibiarkan. Ia mengatakan hal tersebut akan merusak segala sendi kehidupan masyarakat.
Hal tersebut akan menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, merosotnya ekonomi, rusaknya lingkungan, dan lain sebagainya,” kata eks penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
Sebelumnya, Transparency World mengeluarkan IPK tahunan pada tahun 2022 termasuk Indonesia. Dalam penilaian tersebut, Indonesia mendapatkan angka 34 yang menunjukkan penurunan empat poin dari 2021 yaitu 38. Poin tersebut juga membuat posisi IPK Indonesia melorot ke posisi 110 dari 180 negara. Padahal pada 2021 Indonesia berada di posisi 96.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Melorot 4 Poin, TII: Drastis Sejak Reformasi